Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
Legalitas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah
Jurnal by
Mutiara Ramadhani Kusumadewi, SKM, MH
- Pendahuluan
Pembangunan sarana maupun prasarana untuk menunjang kehidupan perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia merupakan kebutuhan penting yang tidak dapat dihindarkan pemenuhannya. Pembangunan sarana dan prasarana ini tentunya harus diimbangi dengan pengadaan barang dan jasa yang baik, tetapi kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah bukan bertujuan untuk menghasilkan barang/jasa yang profit oriented. Karena pemerintah tidak dapat melaksanakan sendiri kegiatan pembangunan sehingga hampir sebagian kegiatan pemerintahan didominasi oleh pengadaan barang/jasa ini. Mengurus negeri ini sangat memerlukan keterlibatan masyarakat terutama dunia usaha. Pengadaan barang/jasa pemerintah harus berpihak pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, tata kelola pemerintahan yang baik dan kesejahteraan rakyat sebagaimana konsep good governance.
Terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) merupakan cita-cita dan harapan bangsa Indonesia. Good governance menurut United Nations Development Program (UNDP) adalah penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi melibatkan 3 aktor yaitu state (negara atau pemerintah), private (swasta) dan civil society (masyarakat). Tujuan penyelenggaraan pemerintahan dengan melibatkan 3 aktor tersebut, diungkapkan oleh Mindarti dalam Wahyudi agar terjadi kerjasama dan saling melakukan pengawasan (kontrol) satu sama lain.
Salah satu bentuk penyelenggaraan e-government untuk mencapai good governance adalah pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik, yang sekarang ini lebih dikenal sebagai lelang elektronik (e-procurement). E-procurement adalah suatu bentuk sistem dalam pengadaan barang dan jasa yang mampu membentuk pemerintah dalam hal transparansi informasi serta layanan masyarakat berbasis website.
Pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah/institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan anggaran pendapatan belanja negara/anggaran pendapatan belanja daerah (APBN/APBD) harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Pengadaan barang/jasa dapat memiliki kredibilitas dengan adanya pengaturan yang baik, independen (tidak berpihak) serta menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait secara adil, transparan, profesional dan akuntabel. Pengadaan dengan kredibilitas yang baik juga berarti mencegah adanya persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha dan mengandung unsur-unsur pencegahan korupsi kolusi dan nepotisme antara aparat pemerintah dan pelaku usaha, sehingga diharapkan dapat menciptakan efisiensi penggunaan sumber daya sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum.
Pengadaan barang/jasa pemerintah yang efisien, terbuka dan kompetitif sangat diperlukan bagi ketersediaan barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik. Untuk mewujudkan pengadaan barang/jasa pemerintah yang efisien, terbuka dan kompetitif, perlu pengaturan mengenai tata cara pengadaan barang/jasa yang sederhana, jelas dan komprehensif, sesuai dengan tata kelola yang baik, sehingga dapat menjadi pengaturan yang efektif bagi para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Oleh karena itu adanya penetapan pengaturan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah sangat diperlukan.
Pengadaan barang dan jasa memiliki kontribusi yang besar bagi perekonomian negara. Dalam rangka kebijakan fiskal, pengadaan barang dan jasa bertujuan untuk menggerakkan perekonomian dengan menumbuhkan lapangan kerja, meningkatkan daya saing dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pengadaan barang dan jasa yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara/anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBN/APBD) merupakan pengadaan barang jasa di lingkungan pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan barang jasa publik. Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa yang tidak sehat berdampak pada kerugian yang akan ditanggung masyarakat, termasuk rendahnya kualitas pelayanan yang diterima dari pemerintah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah mengatur persekongkolan yang dilarang yaitu persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender atau tindakan bid rigging. Persekongkolan tender yang dilakukan tidak jarang akan mengakibatkan hambatan bagi pelaku usaha yang tidak terlibat dalam kesepakatan dan dampak yang lebih jauh dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak penyelenggara karena terdapat ketidakwajaran mengenai harga. Dari hal-hal tersebut jelas bahwa dampak persekongkolan tender mengakibatkan kerugian bagi pelaku usaha pesaing maupun kepada masyarakat luas.
Agar pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dilaksanakan secara efisien, efektif dan kompetitif berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil atau tidak diskriminatif, akuntabel bagi semua pihak, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat maka diperlukan adanya pemahaman yang sungguh-sungguh dalam mengaplikasikan prinsip hukum pengadaaan barang/jasa yaitu Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya dalam proses lelang pemerintah.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis bermaksud menelaah permasalahan ini dalam tesis berjudul Legalitas Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah.
B. Metode Penelitian
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif yang menggunakan penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertujuan untuk menemukan asas hukum atau doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian ini lazim disebut studi dogmatic atau penelitian doktrinal (doctrinal research). Jenis penelitian tesis ini adalah studi kepustakaan (library research) sebagai basis pengumpulan bahan hukum.
C. Hasil dan pembahasan
C. Hasil dan pembahasan
- Konsep dasar Muamalah dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 telah memenuhi konsep dasar muamalah. Syariat Islam dengan berbagai pertimbangan yang sangat dijunjung tinggi tidak melarang dalam melakukan usaha untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dan dengan cara seperti apa selama cara yang dilakukan masih berada dalam garis syariat yang dihalalkan. Sedangkan adanya aturan dalam ajaran Islam tentunya tidak semata-mata hanya aturan belaka yang hanya menjadi dasar, tetapi merupakan suatu aturan yang berfungsi menjaga dari adanya manipulasi atau kecurangan-kecurangan dalam menjalankan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) memiliki nilai-nilai yang juga terdapat di dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu sebagai berikut:
Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan)
Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan)
Ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya.
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلاَلاً قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Allah berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59).
Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang. Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan kegiatan muamalah yang hukumnya mubah.
Mewujudkan Kemaslahatan
Mewujudkan Kemaslahatan
Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. Kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah bukan bertujuan untuk menghasilkan barang/jasa yang hanya berorientasi keuntungan semata namun hal ini untuk menunjang perekonomian dan pelayanan masyarakat di Indonesia sehingga kemaslahatan masyarakat pun terjamin.
Saddu Al-Dzari’ah adalah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Dzari’ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram, jalan/cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal serta jalan/cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya pun wajib.
Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan dari kemudharatan dalam kehidupan bermasyarakat. Prinsip ini menghendaki bahwa suatu transaksi harus dilakukan berdasarkan pertimbangan pengambilan manfaat dan menghindari timbulnya bahaya, baik salah satu pihak maupun pihak lainnya.
Menetapkan Harga yang Kompetitif
Menetapkan Harga yang Kompetitif
Dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menetapkan harga yang kompetitif di sebutkan pada pasal 66 ayat 7 Perpres 54/2010 yaitu Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) didasarkan pada data harga pasar setempat, yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakannya Pengadaan.
Pasal 66 ayat 8 Perpres 54/2010 disebutkan HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar, sedangkan di dalam penjelasan pasal 66 ayat 8 disebutkan sebagai contoh keuntungan dan biaya overhead yang wajar untuk Pekerjaan Konstruksi maksimal 15% (lima belas perseratus). Hal ini sesuai dengan pendapat Al Ghazali bahwa keuntungan normal berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang.
Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktik makelar (simsar) dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad, yakni transaksi yang menggunakan jasa makelar. Imam Bukhari memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang hanya akan memberatkan konsumen.
Dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah praktek makelar ini disebut juga pinjam meminjam nama badan usaha. Peminjaman nama badan usaha dalam proses lelang pengadaan barang/jasa sehingga keadaan tersebut akan membawa kerugian bagi pemberi pekerjaan/pengguna barang/jasa atau pemerintah maupun badan usaha yang dipinjam namanya.
Meninggalkan Intervensi yang Dilarang
Meninggalkan Intervensi yang Dilarang
Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya”.
Secara umum intervensi akan berpengaruh buruk terhadap tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government). Dalam Pengadaan Barang/Jasa, intervensi akan mengganggu terciptanya mekanisme pasar dan persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku usaha.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan persaingan usaha yang tidak sehat sebagai persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Undang-Undang tersebut juga menekankan bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar
Intervensi dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa bukan hanya pada tahapan Pemilihan Penyedia/Tender saja, bahkan sudah dimulai dari tahap perencanaan. Pada tahap perencanaan, penyusunan perencanaan harus didasarkan pada kebutuhan (based on need) bukan semata-mata pada keinginan (based on want). Intervensi menyebabkan proses penganggaran hanya berdasarkan pada keinginan pihak-pihak tertentu. Identifikasi kebutuhan yang seharusnya menjadi dasar penyusunan kegiatan menjadi terabaikan.
Pada tahap pemilihan penyedia arus intervensi sangat kuat. Proses pemilihan penyedia (lelang/tender) seringkali dianggap hanyalah formalitas. Calon pemenang sebenarnya sudah ada sejak awal. Segala prosedur yang dijalankan hanyalah upaya untuk menggugurkan kewajiban saja. Panitia Pengadaan/Pokja ULP “dipaksa” memutar otak untuk memilih/memenangkan “titipan/arahan” dengan segala cara. Pengaturan dalam proses pemilihan penyediapun dilakukan. Indikasi adanya pengaturan tersebut sebenarnya mudah dikenali.
Beberapa contoh adanya indikasi pengaturan dalam proses pemilihan Penyedia antara lain: pelelangan sengaja tidak dilakukan secara elektronik (electronic tendering); persyaratan dalam dokumen pemilihan tidak sesuai kententuan dan mengada-ada dengan tujuan mempersempit peluang Penyedia yang lain; pada lelang secara elektronik Penyedia mengalami kesulitan mengunggah dokumen penawaran. Ada indikasi sengaja dihalangi melalui sistem, sehingga hanya penyedia tertentu saja yang bisa menggunggah dokumen penawaran; Penyedia yang dimenangkan cenderung memiliki nilai penawaran mendekati nilai HPS (Harga Perkiraan Sendiri) dengan peringkat dibawah dan masih banyak lagi indikasi lainnya.
Tahap pelaksanaan kontrak; setelah pengumuman pemenang dan tidak ada sanggahan/sanggahan tidak benar, selanjutnya PPK menerbitkan SPPBJ (Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa). SPPBJ merupakan langkah awal menuju Kontrak. PPK bisa saja tidak sependapat dengan keputusan Pejabat Pengadaana/Pokja ULP dalam hal penetapan penyedia sebagai pemenang. PPK yang jeli seharusnya meneliti terlebih dahulu semua proses yang dilakukan oleh Pejabat pengadaan/Pokja ULP sebelum menerbitkan SPPBJ. Jika ada yang tidak sesuai dengan ketentuan/melanggar maka PPK mempunyai kewenangan untuk tidak menerbitkan SPPBJ. Selanjutnya permasalahan tersebut dibawa ke tingkat PA/KPA untuk diputuskan. Keputusan PA/KPA bersifat final.
Intervensi menjadikan PPK tidak dapat berbuat banyak walaupun sebenarnya mengetahui ada sesuatu yang salah. Kewenangan PPK seakan tidak ada. PPK tidak berkutik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengendalikan pelaksanaan Kontrak. Justru sebaliknya, seringkali Penyedia atau pihak lain yang mengendalikan pelaksanaan Kontrak. Kontrak yang berakhir dengan serah terima pekerjaan juga tidak luput dari intervensi. Berita acara serah terima (BAST) hasil pekerjaan terpaksa harus ditandatangani oleh PPHP walaupun hasilnya tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak.
Pada suatu saat para pihak yang terlibat akan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan tugas dan kewenangannya tersebut. Di Republik Indonesia ini masih banyak orang benar, jujur dan punya integritas yang tinggi. Namun, tidak jarang mereka seringkali terpinggirkan atau tersingkirkan hanya karena kuatnya arus intervensi. Harga sebuah kejujuran (integritas) memang tidaklah murah, sehingga hanya orang-orang yang bukan murahan yang mampu mempertahankan kekokohan integritasnya.
Jujur dan Amanah
Jujur dan Amanah
Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.
Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi khusus bagi orang yang jujur, “Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan disertakan bersama para Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada”.
Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah ada yang namanya Integritas. Hal ini yang dapat mengimbangi intervensi yang terjadi di lapangan. Integritas dapat diartikan sebagai tindakan yang sesuai dengan norma, nilai, dan prinsip yang telah diatur. Integritas juga mengandung arti kejujuran. Dalam Pengadaan Barang/Jasa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dimiliki oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan/Pokja ULP dan Pejabat/Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Perwujudan dari integritas dituangkan dalam Pakta Integritas yang harus ditandatangani oleh PPK, Pejabat Pengadaan/Pokja ULP dan PPHP.
Pakta Integritas merupakan surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa. Integritas seseorang seringkali goyah akibat adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu. Intevensi sering diartikan sebagai tindakan campur tangan. Bentuk intervensi yang sering terjadi dalam proses Pengadaan Barang/Jasa adalah adanya perintah atau tekanan untuk memenangkan Penyedia tertentu. Istilah yang umumnya digunakan adalah “arahan/titipan” yang dibalut dengan kata “Kebijakan”.
Semua pihak yang terlibat seakan dipaksa untuk mengamankan kebijakan tersebut. Melawan kebijakan dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal. Akibatnya bagi seorang ASN bisa saja dipindahtugaskan (mutasi) bahkan dibebastugaskan. Loyalitas seringkali disalahtafsirkan sebagai sikap seseorang yang harus tunduk dan mengikuti apapun perintah atasan termasuk menabrak aturan sekalipun.
Perintah yang tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan wajib hukumnya untuk tidak diikuti. Hanyalah orang-orang berintegritas yang punya keberanian untuk “melawan” kebijakan yang salah tersebut. Itulah salah satu alasan mengapa integritas merupakan persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh pengelola pengadaan barang/jasa.
Menghindari Eksploitasi
Menghindari Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: “Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti”.
Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Allah berfirman:
وَلاَ تَنقُصُواْ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ
“dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangan” (QS. Al A’raf:85).
Muamalah bertujuan untuk memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan pengambilan kesempatan dalam kesepakatan. Mengurangi spesifikasi barang atau mengurangi takaran, misal pengurangan campuran semen dalam bangunan konstruksi. Sehingga bisa mengakibatkan gagal bangunan, yang bisa membahayakan orang lain.
Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik.
Ketika kontrak telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1 yang artinya “wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji”. Dan dalam menjalankan kontrak harus dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya”.
D. Analisis Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
- Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa. Di dalam pengadaan barang jasa pihak-pihak yang melakukan transaksi yaitu pejabat pembuat komitmen/pengguna anggaran yang mewakili Negara/rakyat dalam membeli/mengadakan kebutuhan dan penyedia/rekanan yang menyediakan barang dan/jasa yang akan digunakan oleh pemerintah/kebutuhan masyarakat itu sendiri.
- Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
- Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul). Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya. Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul) sudah tertuang di dalam kontrak (aqad) pengadaan barang/jasa.
Agar pengadaan barang/jasa pemerintah dapat dilaksanakan secara kompetitif berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil atau tidak diskriminatif, akuntabel bagi semua pihak, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat maka diperlukan adanya prosedur yang sesuai dengan prinsip dan asas di dalam Hukum Ekonomi Syariah sehingga mudah dalam mengaplikasikan prinsip hukum pengadaaan barang/jasa yaitu Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya di dalam pelaksanaannya secara nyata.
Prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah yaitu efisien dan efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel telah sesuai dengan konsep muamalah dalam hukum ekonomi syariah. Perjanjian/kontrak didalam pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan asas-asas di dalam aqad muamalah.
- Asas-Asas Aqad
Pengaturan transaksi kegiatan perekonomian yang berbasis syariat islam dilaksanakan dengan memenuhi asas-asas dalam perjanjian islam ataupun fiqih muamalah, diantaranya sebagai berikut Asas Al-Huriyah (kebebasan berkontrak); Asas Al-Musawah (persamaan dan kesetaraan); Asas Al-Adalah (keadilan); Asas Al-Ridho (kerelaan); dan Asas Ash-Shidiq (kejujuran).
Berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) akad dilakukan berdasarkan 13 asas antara lain; asas ikhtiyari (sukarela); asas amanah (menepati janji); asas ikhtiyati (kehati-hatian); asas Luzum (tidak berubah); asas saling menguntungkan; asas taswiyah (kesetaraan); asas transparaansi; asas kemampuan; asas taysir (kemudahan); asas iktikad baik; sebab yang halal; asas al-Hurriyah (kebebasan berkontrak) dan asas al-kitabah (tertulis).
Akad Wakalah Muqayyadah dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Akad Wakalah Muqayyadah dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Akad Wakalah Muqayyadah adalah merupakan suatu perjanjian antara seseorang yang mewakilkan (pemberian kuasa) yang dibatasi waktu dan urusan-urusan tertentu. Dalam akad tersebut terdapat serangkaian proses diantaranya. Pertama, proses pelaksanaan syarat dan rukun dari akad wakalah muqayyadah tersebut, dimana pihak yang mewakilkan (muwakkil) harus memiliki kecakapan untuk melakukan pekerjaan yang akan diwakilkannya kepada orang lain, dengan pengertian bahwa apabila pekerjaan tersebut dilakukannya sendiri maka hukumnya sah.
Kontrak pengadaan barang/jasa adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan penyedia barang/jasa atau pelaksana swakelola. PPK sebagai wakil Negara/rakyat dan penyedia barang/jasa sebagai badan usaha atau perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi/jasa konsultansi/jasa lainnya.
Kontrak dalam perspektif hukum ekonomi syariah adalah akad. Akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalat atau khilaf, dilakukan dibawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan dan ghubn atau penyamaran. Setiap kesepakatan dalam muamalah haruslah jelas diketahui oleh para pihak akad agar tidak menimbulkan perselisihan diantara para pihak. Kesepakatan para pihak dalam Hukum Perjanjian Syariah yang ditulis oleh Syamsul Anwar dikenal dengan pernyataan kehendak. Dimana pernyataan kehendak itu sendiri lazim di sigat akad yang terdiri dari ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini lah yang mempresentasikan perizinan (ridha, persetujuan).
Berdasarkan syarat sahnya suatu akad atau perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya suatu perjanjian, yang berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, maka tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, namun terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau biasa disebut dengan cacat kehendak. Sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, cacat kehendak dikenal dengan aib kesepakatan yang diatur dalam pasal 29 sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalat atau khilaf, dilakukan dibawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran. Namun menurut Ahmad Miru dalam Hukum Kontrak Bernuansa Islam menambahkan adanya penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu dari bagian yang menimbulkan cacat kehendak. Menurutnya, penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya.
Penyalahgunaan keadaan menurutnya juga berarti dalam penerapan klausul-klausul tertentu yang ditetapkan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang mengakibatkan sangat dirugikannya pihak lemah. Penerapan kontrak semacam ini biasa terjadi dalam sebuah kontrak baku, yang mana klausul-klausulnya telah ditetapkan/dirancang oleh salah satu pihak. Biasanya yang merancang isi perjanjian tersebut adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat yang dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan baginya.
Pada pasal 27 Kompilasi Hukum ekonomi Syariah dijelaskan bahwa hukum akad terbagi dalam tiga kategori yaitu akad yang sah, akad yang fasad (dapat dibatalkan) dan akad yang batal/ batal demi hukum.
Pertama, akad yang sah. Akad yang sah menurut Kompilasi Hukum ekonomi syariah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Suatu perjanjian (akad) tidak cukup hanya secara faktual, tetapi keberadaannya juga harus sah secara syar’i (yuridis) agar perjanjian (akad) tersebut dapat melahirkan akibat-akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang membuatnya. Menurut Syamsul Anwar dalam Hukum Perjanjian Syariah menegaskan bahwa Suatu akad menjadi sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi dan tidak sah apabila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi.
Dalam asas-asas hukum muamalat, Ahmad Azhar Basyir menejelaskan bahwa akad yang sah itu adalah akad yang dibenarkan syarak ditinjau dari rukun-rukunnya maupun pelaksanaanya. Pada literatur lainnya Mardani menjelaskan secara implisit bahwa akad sah atau sahih (valid contract) yaitu akad yang menjadi sebab yang legal untuk melahirkan pengaruhnya dengan cara diucapkan oleh orang yang mempunyai wewenang, sah hukumnya, selamat dari segala cacat dalam rukun dan sifatnya. Atau dalam definisi lain selamat dari segala Aib yang menimbulkan akibat.
Kedua, akad yang fasad. Akad yang fasad menurut Kompilasi Hukum ekonomi syariah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syaratsyaratnya tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan maslahat. Akad fasid menurut ahli-ahli hukum Hanafi adalah akad yang menurut syara’ sah pokoknya, tetapi tidak sah sifatnya. Perbedaannya dengan akad batil adalah bahwa akad batil tidak sah baik pokok maupun sifatnya. Adapun yang dimaksudkan dengan pokok disini yaitu rukun dan syaratnya sedangkan yang dimaksud dengan sifat disini yaitu syarat kebsahan suatu akad. Adapun syarat keabsahan akad itu antara lain; (1) bebas dari gharar, (2) bebas dari kerugian yang menyertai penyerahan, (3) bebas dari syarat-syarat fasid, (4) bebas dari riba.
Ketiga, akad yang batal. Akad yang batal menurut Kompilasi Hukum ekonomi syariah adalah akad yang kurang rukun dan/atau syarat-syaratnya. Akad batal adalah akad yang tidak dibenarkan secara syarak ditinjau dari rukun-rukunya maupun pelaksanaannya, dan ia dipandang tidak pernah terjadi menurut hukum, meskipun secara materiaal pernah terjadi, oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum samaa sekali.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Mardani dalam Hukum Perikatan Syariah di Indonesai menyatakan bahwa akad yang tidak sah atau tidak sahih (void contract) adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syaratnya. Dengan demikian, berdampak hukum tidak sah.
Menurut Vaitzhal Rivai bahwa didalam kontrak batil (void) tidak terdapat penuhan atas kondisi yang berhubungan dengan penawaran dan penerimaan, subjek, pertimbangan atau persetujuan, atau mengandung beberapa atribut eksternal yang bersifat illegal. Atau dalam kata lain jika kondisi pada umumnya yang berhubungan dengan bentuk dari kontrak (penerimaan yang tidak mengkonfimasi penawaran, atau penawaran yang tidak ekonsisten pada saat penerimaan, dan lain-lain), persetujuan yang tidak terpenuhi, kontrak semacam ini merupakan kontrak batil.
Dalam berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian (akad) telah memenuhi semua syarat-syaratnya dan menurut hukum perjanjian Islam apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai hukum. Dengan kata lain, perjanjian itu menimbulkan akibat hukum yang wajib dipenuhi oleh pihak-pihak terkait.
Dalam pasal 1338 (1) KUH Perdata di tegaskan, Semua perjanjian yang secara sah dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sebagai kelanjutan dari asas mengikatnya perjanjian dan wajibnya para pihak memenuhi perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian tersebut, maka salah satu pihak tidak dapat menarik kembali perjanjiannya selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat (2))
Ahmad Miru menegaskan dalam Hukum Kontrak Bernuansa Islam, bahwa pada tahap pelaksanaan perjanjian, jika salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya, maka itulah yang disebut wanprestasi. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam Pasal 36 dijelaskan bahwa para pihak dapat dianggap ingkar janji apabila karena kesalahannya; (1) Tidak melaksanakan apa yang diajanjikan untuk melakukannya; (2) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; (3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; (4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam penyediaan barang/jasa pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal penyelesaian perselisihan tidak tercapai, penyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
E. Kesimpulan
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki tiga tahapan penting yaitu persiapan, pemilihan dan pelaksanaan. Pengadaan harus dimulai dengan perencanaan yang baik, pemilihan alternatif-alternatif yang baik atau perlu adanya penggunaan strategi pengadaan yang terbaik dari berbagai macam strategi. Sehingga pelaksanaan pengadaan dapat sesuai dengan prinsip Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Implementasi pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, serta wajib melakukan lelang secara elektronik (E-Tendering dan E-Purchasing).
Pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah dalam Perpres No.54 Tahun 2010 dalam perspektif hukum ekonomi syariah sudah sesuai dengan akad wakalah muzayyadah dan sesuai dengan hukum ekonomi syariah. Asas didalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah memuat asas ikhtiyari (sukarela); asas amanah (menepati janji); asas ikhtiyati (kehati-hatian); asas Luzum (tidak berubah); asas saling menguntungkan; asas taswiyah (kesetaraan); asas transparaansi; asas kemampuan; asas taysir (kemudahan); asas itikad baik; sebab yang halal; asas al-Hurriyah (kebebasan berkontrak) dan asas al-kitabah (tertulis), asas tersebut telah sesuai dengan prinsip pengadaan barang/jasa dalam Perpres No.54 Tahun 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah Teori tentang Studi Akad dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010).
Asy-Syaukani. Nailul Authar, Juz. V. (Beirut: Libanon, 1986).
At Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Shohih, (Beirut Libanon: Darul Al-Fikr, 1988).
Ayub, Muhammad. Understanding Islamic Finance, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2009).
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin: LPKU, 2015).
Basyir, Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). (Yogyakarta: UII Press, 2009).
Dewi, Gemala et al. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013).
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya,)Jakarta: Intermassa, 1986).
Djazuli, H.A. Kaidah-Kaidah Fiqih, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis. (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006).
Jundiani, Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press, 2009).
Kuncoro, Agus. Begini Tender yang Benar: Langkah-langkah melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (Yogyakarta: Prima Print, 2013).
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015).
Miru, Ahmad. Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
Mustafa, Ahmad. Al-Maragi (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993).
Mustofa, Imam. Fiqih Muamalah Kontemporer (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016).
Ramli, Samsul. Bacaan Wajib Para Praktisi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta: Visimedia, 2012).
Ramli, Samsul. Cara Mudah Membaca Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; Perpres No.54 Tahun 2010 dan Seluruh Perubahannya (Perpres No.35 Tahun 2011 dan Perpres No.70 Tahun 2012). Cetakan ke-4. Banjarbaru: PT. Grafika Wangi Kalimantan, 2013.
Republik Indonesia. “Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”.
Ridwan, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jurnal Jure Humano, Volume I No. 1, 2009.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, Juz II. (Beirut: Libanon, 1992).
Sahroni, Oni dan Adiwarman A. Karim, Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam. Sintesis Fikih dan Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan: Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik. (Bandung: Refika Aditama, 2009).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986).
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1984).
Sumangkut, Roi Y. A. “Analisis Akuntabilitas System Pengadaan Secara Elektronik v.3.5 Dalam Proses E-Tendering.” Jurnal Ilmiah Media Engineering Vol.4 No.3, (2014): h. 175-189.
Sutedi, Adrian. Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya. (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT. Alumni, 2000).
Syafe’i, Rachmad. Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Veizthal Rivai, et al. Islamic Financial Management, Teori, Konsep, dan Aplikasi: Panduan Praktis bagi Lembaga Keuangan dan Bisnis, Praktisi, serta Mahasiswa. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Wahyudi, S, et al. Revolusi Administrasi Publik (Aneka Pendekatan dan Teori Dasar). Malang: Banyumedia Publishing, 2007.
Komentar
Posting Komentar